1. Buku ini kutulis sambil mengenang: Mbah Nang (kakek) yang mengasuhku sejak kecil dan sangat memerhatikan pendidikanku di dalam keterbatasannya. Ayahanda yang nyaris tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengasuhku tetapi selalu mendoakanku hingga menjelang ajalnya. K.H. Mawardi dan keluarganya yang telah mengizinkanku tinggal gratis di pondok pesantrennya selama di SMA. Pak Soehardjo, mantan dosen senior ITS yang telah memberikan makan dan penginapan gratis selama 6 bulan di Surabaya. Mereka telah berpulang ke Rahmatullah ketika aku di Jepang tanpa bisa mengantar ke peristirahatan terakhirnya. Juga terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk: Ibunda tercinta di desa yang selalu mendoakan putra-putri dan cucu- cucunya di setiap kesempatan. Istriku yang selalu setia mendampingi dalam suka dan duka. Putra-putraku yang selalu kurindukan. Adik-adikku yang tidak pernah bermain bersamaku di masa kecil. Bapak dan ibu guru, para tetangga di desa dan seluruh sahabatku di Jepang, Ceko, Cina, Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia, dan di mana pun berada yang telah banyak mendoakan dan membantuku selama ini. Terakhir tetapi tidak kalah penting, Pak Habibie dan seluruh keluarga besar BPPT yang telah memberikan beasiswa ke Jepang pada saat yang tepat, dilanjutkan oleh Matsuda Scholarship (Osaka) dan Heiwa Nakajima Foundation (Tokyo) sampai aku bisa selesai S3. “Hanya Tuhan YME yang akan membalas semua kasih sayang dan kebaikan mereka. Amin...”
3. “Saya terlahir ketika Suyoto Rais (kakak saya) sudah kuliah di Jepang. Katanya, awalnya dia sempat marah-marah saat itu karena itu berarti menambah beban keluarga dan juga membuatnya berpikir keras menyisihkan sebagian beasiswanya untuk membantu. Tetapi setelah dia bekerja dan ada kelonggaran rezeki, dia merupakan “sponsor utama” yang membuat saya bisa bersekolah tanpa kekurangan apa pun sampai bisa lulus S2 di Bogor. Makasih, Mas, aku selalu bangga dan mendoakan kesuksesanmu.” Siti Kipdiyah (adik terakhir) — Karyawati BRI Pusat di Jakarta “Jujur saja, salah satu penentu saya menikahi istri saya tercinta (Siti Yaroh, adik ke-4) adalah setelah bertemu dengan Mas Suyoto pada saat pulang ke Tuban dulu. Dia sangat ramah, banyak memberikan nasihat tanpa menggurui dan membuat semakin yakin akan pilihan saya. Setelah menikah, saya masih sering berkonsultasi dengannya, termasuk masalah dapur dan sekolah anak-anak. Dia seperti kakak kandung saya sendiri, dan enak diajak ngobrol mengenai apa saja.” Choirul Huda (adik ipar) — Asper Perum Perhutani di Ponorogo, Jawa Timur “Ketika adik terakhir saya (Tri Umiati) memutuskan untuk menerima lamar- annya, awalnya saya agak grogi juga akan memiliki adik ipar “anak didik Habibie”. Tetapi setelah ngobrol banyak hal, saya jadi tahu kalau dia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan di mana pun, termasuk di lingkungan keluarga kami. Dia juga selalu sopan dan santun. Memang cenderung agak pendiam dan omongannya biasanya hanya fokus pada masalah, tetapi tidak mengurangi keramahannya. Dia juga selalu ringan tangan dan ikhlas untuk membantu siapa saja, termasuk keluarga saya. Saya bahagia dan bangga memiliki adik ipar sepertinya.” Supandi (kakak ipar) — Karyawan swasta di Jakarta “Kejelian menganalisa peristiwa- peristiwa sehari-hari adalah kecerdasan. akan tetapi merenungi, menyimak dan menemukan yang tersirat di baliknya adalah kebijaksanaan. Dan buku ini sarat kebijaksanaan, memukau, menyentuh, dan mencerahkan. Saya merasa beruntung diminta menjadi “ first reader ” pada saat penyusunan buku ini.” Tatang Gunadi, M.M. — Deputy General Manager di PT Nagai Plastic Indonesia, first reader buku ini 10
2. Kesan yang Mendalam... “Suyoto Rais, anak pertama, dia bisa menjadi kakak sekaligus ayah buat adik- adiknya. Sejak lahir sampai sekarang, saya masih rutin sedekah syukuran sebisanya di setiap weton -nya (hari Selasa Wage), sambil mendoakannya. Hanya itu yang bisa saya berikan untuknya agar dia bisa meraih cita-citanya. Ibu bangga padamu, Nak...” Hj. Suyatmi Ibunda tercinta “Bagiku, Suyoto Rais (suami saya) adalah sosok bapak sekaligus suami yang super dan penuh tanggung jawab. Sifatnya yang pendiam justru membuat saya segan dan selalu berhati-hati dalam setiap tindakan. Kerja kerasnya membuat keluarga sangat mengidolakannya. Doa dan semangat selalu untuk suami saya tercinta. Saya bangga menjadi pendamping hidupmu. I love you, Papi...” Tri Umiati Istri “Suyoto Rais (papa saya) adalah ayah superhebatku. Meskipun waktu kecil beliau dari keluarga kurang mampu tapi sifat optimis, istiqomah, dan tidak mudah menyerah membuat saya kagum. Sesibuk apapun selalu ada waktu untuk keluarga. Ketika aku disuruh guru menulis tokoh idola di album sekolah dan umumnya teman-teman menulis figur publik dunia dan nasional yang dikagumi, tanpa malu- malu aku menulis papaku sendiri. Papaku idolaku, aku ingin sepertimu, Papa.” Perdana Suyoto (anak pertama) — Mahasiswa ITS Surabaya “Di antara adik-adik lainnya, barangkali saya yang paling dekat dengan Suyoto Rais (kakak saya). Kami pernah sama- sama harus ikut orang lain agar tetap bisa sekolah. Kami sama-sama pernah dibesarkan di dalam keluarga yang kurang harmonis dan serba kekurangan. Kami pernah menangis bersama-sama pada saat jauh dari orang tua dan tidak tahu jalan ke depan. Semua itu menjadi perekat yang tidak akan pernah lapuk oleh waktu. Dia bukan hanya seorang kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya, tetapi juga berperan sebagai ayah dan guru kami.” Titik Agus Purwati (adik pertama) — Karyawati Perum Perhutani di Bojonegoro, Jawa Timur “Suyoto Rais (kakak pertama saya), seperti sosok ayah, kakak sekaligus teman. Sederhana, bijaksana, tekun, dan pekerja keras. Ia menjadi teladan buat saya. Bersamanya, saya bisa mendirikan perusahaan makanan halal di Jepang yang hingga kini menjadi satu-satunya perusahaan sejenis yang didirikan oleh putra-putri Indonesia yang masih bertahan di Jepang. Tanpa dia saya bukan siapa-siapa, tekad kami menjadi luar biasa bersama. I’m proud with you, My Bro...” Teguh Wahyudi (adik kedua) — Pemilik dan Presdir Sariraya Co.Ltd., Jepang 9